Cara Untuk Sujud Dalam Solat

OLEH: Ustaz Fauzan Abu Muhammad Al-Kutawy

 Pembahasan kita kali ini adalah tentang bagimanakah cara yang benar untuk turun menuju sujud didalam shalat? Apakah mendahulukan lutut dari tangan ataukah mendahulukan tangan dari lutut.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama yang merupakan pendapat Umar Ibnul Khaththab, Ibnu Masud, An Nakha’I, Muslim bin Yasar, Abu Hanifah, Ats TSaury, Asy Syafi’i, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Al Khaththabi, Ibnul Qayyim dll, yang berpendapat mendahulukan lutut daripada tangan ketika sujud.
Pendapat kedua yang merupakan pendapat Ibnu Umar, ‘Atha’, Malik, Al Auza’I, Ahmad, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar dll, yang berpendapat mendahulukan tangan daripada lutut ketika sujud, dan pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Asy Syeikh Al Albany rahimahullah.

Penyebutan dalil masing-masing pendapat:

Dalil-dalil pendapat pertama:

1. Hadits Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu:

                        ﺭﺃﻳﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺇﺫﺍ ﺳَﺠﺪَ ﻭَﺿﻊَ ﺭُﻛﺒَﺘَﻴﻪِ ﻗَﺒﻞَ ﻳَﺪَﻳﻪِ ﻓﺈﺫَﺍ ﻧَﻬﺾَ ﺭَﻓَﻊ ﻳَﺪﻳﻪِ ﻗَﺒﻞَ ﺭُﻛﺒَﺘَﻴﻪ
“Aku melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam jika sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan jika Beliau bangkit maka Beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” [1]

Namun ketahuilah wahai pembaca sekalian, bahwa riwayat ini datang dari jalur periwayatan Yazid bin Harun dari Syarik dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu.
Berkata Imam Ad Daruquthni rahimahullah: “Yazid telah bersendirian dalam periwayatannya dari Syarik , dan tidaklah ada yang menceritakan dengan konteks ini dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali hanya Syarik, sedangkan Syarik bukanlah seorang yang kuat dalam meriwayatkan  sebuah hadits secara bersendirian.”

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah: “Dia shaduq, banyak kesalahan dan telah bercampur hafalannya semenjak ia menjadi qhadi.”

Berkata As Syeikh al Albani rahimahullah: “Dan Syarik adalah Sayi’ul Hifdz (jelek hafalannya) menurut jumhur ulama, dan sebagian dari mereka telah menegaskan bahwa Beliau telah bercampur hafalannya, oleh sebab itulah tidak bisa dijadikan hujjah ketika ia bersendirian dalam sebuah riwayat, maka bagaimana lagi jika menyelisihi yang lainnya dari para huffadz sebagaimana telah berlalu penjelasannya pada riwayat Zaidah.” [2]

2. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

   ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺒَّﺮَ ﻓَﺤَﺎﺫَﻯ ﺑِﺈِﺑْﻬَﺎﻣَﻴْﻪِ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ ﺛُﻢَّ ﺭَﻛَﻊَ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺳْﺘَﻘَﺮَّ ﻛُﻞُّ ﻣَﻔْﺼِﻞٍ ﻣِﻨْﻪُ ، ﻭَﺍﻧْﺤَﻂَّ ﺑِﺎﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮِ  ﺣَﺘَّﻰ ﺳَﺒَﻘَﺖْ ﺭُﻛْﺒَﺘَﺎﻩُ ﻳَﺪَﻳْﻪ
“Aku melihat  Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir hingga sejajar antara ibu jari dengan telinganya kemudian Beliau rukuk hingga setiap persendian kembali pada tempatnya, kemudian Beliau bertakbir hingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” [3]

Dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Al ‘Ala’ bin Ismail.
Berkata Imam Ad Daruquthni rahimahullah: “Al ‘Ala’ bin Ismail telah bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Hafs dengan sanad ini.” [4]

Berkata Ibnu Hazm rahimahullah: ““Al ‘Ala’ bin Ismail telah bersendirian, dan sungguh Al Hakim telah salah ketika menganggap shahih riwayat ini karena Al ‘Ala’ ini majhul sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad; 1/58.” [5]

Berkata Abu Hatim rahimahullah: “Hadits ini munkar”, lalu Ibnul Qayyim memberikan komentar: “Beliau menganggap munkar karena –Wallahu a’lam- dari riwayat Al ‘Ala’ bin Ismail Al Aththar dari Hafs bin Ghiyats, sedangkan Al ‘Ala’ majhul.” [6]

3. Hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu:
                        ﻛﺎﻥ ﻳﺨﺮ ﻋﻠﻰ ﺭﻛﺒﺘﻴﻪ ، ﻭ ﻻ ﻳﺘﻜﻰﺀ
“Adalah Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam turun diatas lututmya dan tanpa bersandar.” [7]

Berkata Asy Syeikh Al Albani rahimahullah: “(Hadits ini) Dhaif  karena datang dari jalur Muadz bin Muhammad bin Muadz bin Ubay bin Ka’ab dari bapaknya dari kakeknya dari Ubay bin Ka’ab dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam…al hadits, aku katakan; sanad ini memiliki silsilah orang-orang majhul. Berkata Ibnul Madini; Kami tidak mengetahui siapakah Muhammad bin Muadz ini  dan tidak pula bapaknya maupun kakeknya dalam suatu riwayat, maka sanad ini majhul. Berkata Al Hafidz dalam At Taqrib; Majhul.” [8]

Para pembaca sekalian yang dirahmati oleh Allah
Dari uraian pemaparan serta penjelasan dalil-dalil pendapat pertama diatas maka nampaklah bagi kita bahwa dalil-dalil yang mereka gunakan adalah berkisar antara hadits-hadits lemah dan munkar, lalu bagaimana dengan dalil-dalil pendapat kedua?? Mari kita simak bersama.



Dalil-dalil pendapat kedua:

1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

ﺇﺫﺍ ﺳﺠﺪ ﺃﺣﺪﻛﻢ؛ ﻓﻼ ﻳﺒﺮﻙ ﻛﻤﺎ ﻳﺒﺮﻙ ﺍﻟﺒﻌﻴﺮ، ﻭﻟﻴﻀﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻗﺒﻞ ﺭﻛﺒﺘﻴﻪ
“Jika salah seorang diantara kalian sujud maka janganlah ia turun seperti turunnya onta dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” [9]

Hadits ini datang dari jalur periwayatan Abdul Aziiz bin Muhammad Ad Darawardi dari Muhammad bin Abdillah bin Hasan dari Abu Zinad  dari Al A’raj dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’.
Berkata Asy Syeikh Al Albani rahimahullah: “Sanad hadits ini shahih dan perawinya semuanya adalah perawi Imam Muslim kecuali Muhammad bin Abdillah bin Hasan, dan dia adalah seorang rawi tsiqoh (kuat) sebagaimana dikatakan oleh Imam An Nasa’i dan selainnya serta diikuti oleh Al Hafidz dalam At Taqrib, oleh sebab itulah  An Nawawi dalam Al Majmu’ (3/421) dan Az Zarqani dalam Syarhul Mawahib (7/320) mengatakan; sanadnya jayyid (bagus).” [10]

Namun sebagian ulama melemahkan hadits ini dengan beberapa alas an sbb:
Ad Darawardi telah bersendirian dalam meriwayatkan riwayat ini dari Muhammad bin Abdillah.
Muhammad bin Abdillah bersendirian dalam meriwayatkan riwayat ini dari Abu Zinad.
Perkataan Imam Al Bukhari rahimahullah: “Aku tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah bin Hasan mendengar dari Abu zinad ataukah tidak”.

Namun perlu diperhatikan bahwa dijadikannya ketiga alasan ini sebagai suatu alasan untuk melemahkan hadits ini tidaklah tepat, hal tersebut karena Ad Darawardi dan gurunya (yaitu Muhammad bin Abdillah) adalah kedua rawi yang tsiqah (kuat) sehingga tidaklah membahayakan suatu riwayat bersendiriannya seorang yang tsiqoh selama tidak menyelisihi riwayat lainnya.
Adapun alasan ketiga dengan berdalihkan ucapan Imam Al Bukhari tidaklah tepat, karena ucapan Imam Al Bukhari tersebut dibangun diatas kaidah Beliau yaitu tentang disyaratkannya seorang rawi harus diketahui perjumpaan dengan gurunya, sedangkan hal seperti ini tidaklah dijadikan syarat menurut  jumhur ahlul hadits bahkan mereka  mencukupkan dengan sekedar memungkinkan bertemunya mereka dan terlepas dari tadlis sebagaimana hal tersebut yang terpapar dibuku-buku mushthalah al hadits, dan disini Muhammad bin Abdillah bukanlah seorang mudallis bahkan dalam biograpi Beliau mendapati masa hidupnya Abu Zinad. Beliau meninggal pada tahun 145 H dalam umur 53 tahun, sedangkan guru Beliau (Abu Zinad) meninggal pada tahun 135 H. Wallahu a’lam.

Catatan:
Sebagian ulama menganggap adanya wahm (kesalahan) pada rawi karena seakan-akan awal hadits ini bertentangan dengan akhirnya, diawal hadits terdapat larangan turun seperti turunnya onta dan dimaklumi bahwa onta turun dengan mendahulukan tanggannya, maka kita dilarang darinya, sedangkan diakhir hadits terdapat perintah untuk mendahulukan tangan, maka mereka menganggap konteks akhir ini adalah kesalahan dari rawi.

Namun perlu diketahui, bahwa menyatakan suatu konteks hadits itu terdapat kesalahan dari rawi dibutuhkan hujjah yang jelas, seperti dalam hal ini, maka dari sisi mana kita bisa memastikan bahwa kesalahan rawi ada pada akhir konteks atau awalnya?? Perlu  diketahui bahwa hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mungkin saling bertentangan satu dengan yang lainya, maka selama hadits tersebut shahih dan disampaikan dari orang-orang yang terpercaya maka hendaklah kita terima seluruhnya dan metode yang kita tempuh adalah mengkompromikan makna hadits tersebut.
Dalam permasalahan hadits ini sebenarnya tidak ada pertentangan, karena larangan menyerupai onta disini adalah dari sisi kaifiyyah (tata cara), artinya kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan ketika sujud namun tidak seperti caranya onta, dan bukanlah larangan disini dari sisi yang mana yang harus didahulukan. Wallahu a’lam.

2. Atsar dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:

                        قال نافع؛ كان ابن عمر يضع يديه قبل ركبتيه
“Berkata Nafi: Adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” [11]

Dan riwayat tersebut telah dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya dan Ad Daraquthni (secara marfu’) dari riwayat Ashbagh bin Faraj dar Ad Darawardi dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar  radhiyallahu anhu:

                        إنه كان يضع يديه قبل ركبتيه ، وقال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يفعل ذلك
“Adalah Beliau meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya dan mengatakan: Adalah Nabi shalallahu alaihi wa sallam melakukan hal tersebut.”

Namun riwayat ini dari jalur Ad Darawardi dari Ubaidullah bin Umar, dan telah Nampak kelemahan riwayat ini sebagaimana telah masyhur dikalangan penuntut ilmu. [12]

3.Hadits Al Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu:

 ﻛﻨﺎ ﻧُﺼﻠﻲ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺈﺫﺍ ﻗﺎﻝ : ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻤﻦ ﺣﻤﺪﻩ ، ﻟﻢ ﻳَﺤْﻦِ ﺃﺣﺪٌ ﻣِـﻨّـﺎ ﻇﻬﺮﻩ ﺣﺘﻰ ﻳﻀﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺟﺒﻬﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ
“Adalah kami shalat dibelakang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketika Beliau telah mengucapkan Sami’allahu Liman Hamidah, tidak ada seorangpun diantara kami yang menggerakkan punggungnya hingga Beliau telah meletakkan dahinya diatas tanah.” [13]

Sisi pendalilan dalam hadits ini adalah bahwa tidaklah gerakan pada punggung seseorang itu terjadi kecuali ketika ia menggerakkan kedua tangannya untuk turun sujud.

Maka kesimpulan dari pembahasan ini dengan melihat dalil-dalil setiap pendapat maka kita bisa melihat kuatnya pendapat yang mengatakan bahwa cara turun kesujud yang lebih sesuai dengan contoh Nabi shalallahu alaihi wa sallam adalah dengan mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut.
Wallahu a’lam.
 ____________
[1] HR. Abu Daud (3/127), An Nasa’i (2/553), At Tirmidzi (1/470), Ibnu Majah (3/181) dan Ibnu Khuzaimah (1/139)
[2] Irwa’ul Ghalil (2/75)
[3] HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak (2/337) dan Al Baihaqi (2/269)
[4] Nashbur Rayah (1/250)
[5] Al Muhalla (4/129)
[6] Zaadul Ma’ad  (1/215)
[7] HR. Ibnu Hibban (497)
[8] Adh Dhaifah (2/426)
[9] HR. Abu Daud (3/129), Ahmad (19/221), Al Baihaqi (2/271) dan Ad Darimi (4/124)
[10] Al Irwa’ (2/78)
[11]  Riwayat  Bukhari dalam Shahihnya secara Mu’allaq (1/276)
[12] Fathul Bari Libni Rajab (3/36)
[13] HR. Bukhari (1/280)
___________________________
Ustaz Fauzan Abu Muhammad Al-Kutawy 
Pendakwah Bebas
_____________________________


Comments