Menyandarkan Kesialan Terhadap Sesuatu

OLEH: Ustaz Fauzan Abu Muhammad Al-Kutawy

 Diantara fenomena yang terjadi dimasyarakat kita saat ini adalah keyakinan menyandarkan kesialan kepada sesuatu seperti keyakinan adanya kesialan pada hari-hari atau tanggal tertentu dan semisalnya, dan perkara ini dikenal dalam istilah syariat dengan Tathoyyur atau Thiyaroh.

Pengertian Tathoyyur atau Thiyaroh.

Tathoyyur adalah menganggap sial sesuatu dengan hal yang dilihat maupun didengar. [1]

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah:

ﻭﺃﺻﻞ ﺍﻟﺘﻄﻴﺮ ﺃﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺎﻫﻠﻴﺔ ﻳﻌﺘﻤﺪﻭﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﻴﺮ ﻓﺈﺫﺍ ﺧﺮﺝ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻷﻣﺮ ﻓﺈﻥ ﺭﺃﻯ ﺍﻟﻄﻴﺮ ﻃﺎﺭ ﻳﻤﻨﺔ ﺗﻴﻤﻦ ﺑﻪ ﻭﺍﺳﺘﻤﺮ ﻭﺃﻥ ﺭﺁﻩ ﻃﺎﺭ ﻳﺴﺮﺓ ﺗﺸﺎﺀﻡ ﺑﻪ
"Dan asal kata Tathoyyur adalah bahwa pada masyarakat jahiliyyah mereka menjadikan Tho'ir (burung) sebagai sandaran (keyakinan), jika mereka memiliki suatu urusan (untuk bersafar) maka mereka melepaskan burung, jika burung tersebut terbang kearah kanan maka mereka menganggap baik dengannya dan melanjutkan perjalanan, adapun jika mereka melihat burung tersebut terbang kearah kiri maka mereka menganggap sial dan kembali (pulang)." [2]

Kemudian masuk dalam bentuk Tathoyyur tersebut bukan terbatas hanya pada burung, bahkan segala hal yang diyakini bisa mendatangkan kesialan, seperti contohnya menyandarkan kesialan pada hari tertentu didalam pelaksanaan pernikahan atau perjalanan dst.

Adapun perbedaan antara Tathoyyur dengan Thiyaroh adalah sebagaimana disebutkan oleh Al 'Izz bin 'Abdis Salaam rahimahullah:

ﺍﻟﺘﻄﻴﺮ ﻫﻮ ﺍﻟﻈﻦ ﺍﻟﺴﻲﺀ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ , ﻭﺍﻟﻄﻴﺮﺓ ﻫﻲ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﻤﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﻦ
"Tathoyyur adalah persangkaan jelek yang ada didalam hati, sedangkan Thiyaroh adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar persangkaan tersebut." [3]

Maka keyakinan bahwa kesialan itu ada pada seseorang atau sesuatu tertentu adalah bentuk Tathoyyur, sedangkan perbuatan kita yang didasari keyakinan adanya kesialan tersebut kepada seseorang atau sesuatu tertentu adalah bentuk Thiyaroh.

Contoh Tathoyyur adalah keyakinan seseorang bahwa jika melakukan pernikahan ditanggal ganjil maka pertanda kesialan atau kebangkrutan.

Adapun jika ia tidak melakukan pernikahan disebabkan keyakinan tersebut maka hal tersebut disebut Thiyaroh.

Wallohu a'lam.

Dan menyandarkan kesialan terhadap sesuatu ini adalah merupakan perkara jahiliyyah yang dilakukan oleh penentang para nabi dan rasul terdahulu, sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala hikayatkan tentang ungkapan dan tuduhan mereka kepada para rasul:

ﺇِﻧَّﺎ ﺗَﻄَﻴَّﺮْﻧَﺎ ﺑِﻜُﻢْ ﻟَﺌِﻦْ ﻟَﻢْ ﺗَﻨْﺘَﻬُﻮﺍ ﻟَﻨَﺮْﺟُﻤَﻨَّﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻴَﻤَﺴَّﻨَّﻜُﻢْ ﻣِﻨَّﺎ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
"(Mereka berkata;) sesungguhnya kami mendapat kesialan ini karena kalian (wahai para nabi), jika kalian tidak berhenti (memberikan peringatan) kepada kami maka sungguh kami akan merajam kalian dan akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih." [4]

    Maka para rasul tersebut menjawab:

ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻃَﺎﺋِﺮُﻛُﻢْ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﺋِﻦْ ﺫُﻛِّﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻞْ ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﻗَﻮْﻡٌ ﻣُﺴْﺮِﻓُﻮﻥَ
"(Para rasul menjawab;) bahkan kesialan kalian ada bersama kalian, apakah jika kami memberikan peringatan kepada kalian (kalian akan mendapat kesialan?), bahkan kalian adalah kaum yang melampaui batas." [5]

Dan juga Allah subhanahu wa ta'ala berfirman menghikayatkan ucapan Musa dan kaumnya:

ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﺼِﺒْﻬُﻢْ ﺳَﻴِّﺌَﺔٌ ﻳَﻄَّﻴَّﺮُﻭﺍ ﺑِﻤُﻮﺳَﻰ ﻭَﻣَﻦْ ﻣَﻌَﻪُ ﺃَﻟَﺎ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻃَﺎﺋِﺮُﻫُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪ
"Dan jika mereka ditimpakan suatu kejelekan maka merekapun menyandarkan kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya, ketahuilah bahwa kesialan kalian berasal dari sisi Allah." [6]

Pada ayat pertama penjelasan bahwa sebab kesialan berupa musibah itu adalah dari ulah tangan-tangan manusia berupa kemaksiatan dan pelanggaran terhadap syariat Allah subhanahu wa ta'ala, dan ini semisal dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺑَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٍ ﻓَﺒِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ ﺃَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻌْﻔُﻮ ﻋَﻦْ ﻛَﺜِﻴﺮ
"Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu adalah akibat dari perbuatan tangan-tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan kebanyakan kesalahan kalian." [7]

    Dan firman-Nya:

ﻇَﻬَﺮَ ﺍﻟْﻔَﺴَﺎﺩُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ ﺃَﻳْﺪِﻱ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻟِﻴُﺬِﻳﻘَﻬُﻢ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺮْﺟِﻌُﻮﻥَ
"Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan dengan sebab perbuatan tangan-tangan manusia, agar Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka mau kembali." [8]


Adapun ayat kedua maka menunjukkan bahwa seluruh perkara yang terjadi baik kebaikan maupun kejelekan itu datang dari sisi Allah subhanahu wa ta'ala dan atas kehendaknya.

Hukum Tathoyyur

Tathoyyur adalah perkara yang diharamkan dan merupakan pintu dari pintu-pintu kesyirikan.
Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‏ ﺍﻟﻄِّﻴَﺮَﺓ،ُ ﺷِﺮْﻙٌ ﺍﻟﻄِّﻴَﺮَﺓ،ُ ﺷِﺮْﻙٌ ﺍﻟﻄِّﻴَﺮَﺓُ ﺷِﺮْﻙ،ٌ ‏ ﻭﻣﺎ ﻣِﻨَّﺎ ﺇﻻ ﻭَﻟَﻜِﻦَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺬْﻫِﺒُﻪُ ﺑِﺎﻟﺘَّﻮَﻛُّﻞِ
"Thiyaroh adalah kesyirikan, Thiyaroh adalah kesyirikan, Thiyaroh adalah kesyirikan, dan tidaklah diantara kita kecuali, akan tetapi Allah melenyapkannya dengan ketawakkalan." [9]

Ungkapan "Dan tidaklah diantara kita kecuali, akan tetapi Allah melenyapkannya dengan ketawakkalan" adalah mudraj (sesuatu yang dimasukkan dalam hadits) dari ucapan 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim [10] dan Al Mundziri [11].

Hal tersebut dikatagorikan sebagai kesyirikan karena didalamnya terdapat keyakinan bahwa sesuatu tersebut bisa memberikan manfaat atau bahaya, sehingga seakan-akan ia menjadikan bagi Allah tandingan dalam perkara tersebut. [12]

Dan bentuk kesyirikan tersebut bisa dalam bentuk syirik akbar jika sang pelaku berkeyakinan bahwa yang mendatangkan manfaat dan bahaya itu adalah sesuatu tersebut.

Adapun jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu itu hanyalah sebab dan Allah subhanahu wa ta'ala yang mendatangkan manfaat dan mudharat tersebut maka termasuk syirik ashghor,  karena menyandarkan sesuatu sebagai sebab padahal hal tersebut bukanlah sebab yang syar'i maupun kauni (nyata) termasuk bentuk syirik ashghor.

Dan larangan melakukan Tathoyyur ini juga larangan melakukan perbuatan semisalnya berupa penyadaran kejelekan kepada sesuatu tanpa mengaitkan dengan izin Allah seperti anggapan penyakit menular dengan sendirinya, anggapan nasib malang kepada seseorang dan semisalnya.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ﻻَ ﻋَﺪْﻭَﻯ ، ﻭَﻻَ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ، ﻭَﻻَ ﻫَﺎﻣَﺔَ ، ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ
"Tidak ada anggapan penularan penyakit dengan sendirinya, tidak ada anggapan kesialan, tidak ada anggapan nasib malang, tidak ada anggapan sial pada bulan shafar." [13]

Adapun berharap kebaikan terhadap sesuatu ketika kita mendengar ucapan-ucapan yang baik maka bukanlah termasuk Tathoyyur bahkan dikenal dalam istilah syariat dengan Al Fa'lu.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 ﻻَ ﻋَﺪْﻭَﻯ ، ﻭَﻻَ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ، ﻭَﻳُﻌْﺠِﺒُﻨِﻰ ﺍﻟْﻔَﺄْﻝُ، ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟْﻔَﺄْﻝُ ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﻠِﻤَﺔٌ ﻃَﻴِّﺒَﺔٌ
"Tidak ada penularan penyakit dengan sendirinya dan tidak ada kesialan, sedangkan Al Fa'lu membuatku takjub"

Maka para sahabat bertanya:

"Apakah itu Al Fa'lu?"

Beliau menjawab:

"Ungkapan yang baik". [14]

Hal ini seperti misalnya kita mendengar seseorang yang namanya baik dan indah maka kita harapkan kebaikan padanya, dan hal ini diperbolehkan karena didalam hal tersebut tidak ada bentuk penyadaran manfaat maupun bahaya kepada makhluk bahkan didalamnya terdapat bentuk husnudzon (berbaik sangka) kepada Allah Azza wa Jalla. [15]

Wallohu a'lam.


___________
[1] Miftahu Daris Sa'adah (3/331)
[2] Fathul Bari (2/212)
[3] 'Aunul Ma'bud (10/406)
[4] QS. Yasin: 18
[5] QS. Yasin: 19
[6] QS. Al A'raf: 131
[7] QS. Asy Syura: 30
[8] QS. Ar Rum: 41
[9] HR. Ahmad (3687) dan Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (909).
[10]  Miftahu Daris Sa'adah (3/280)
[11] At Targhib Wat Tarhib (3/44)
[12] Fathul Bari (10/213)
[13] Muttafaqun 'alaih, dari hadits Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu
[14] Muttafaqun 'alaih, dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.
[15] Lihat Fathul Majid (2/519).


___________________________
 Ustaz Fauzan Abu Muhammad Al-Kutawy 
Pendakwah Bebas
_____________________________

Comments